Tantangan Pendidikan Bagi Perempuan di Kota Subulussalam

Mery Andani, Pegiat Literasi dan Kontributor ISRAC Subulussalam

Tantangan Pendidikan Bagi Perempuan di Kota Subulussalam

          

Pendidikan dalam Islam pada dasarnya terbuka baik kepada laki-laki dan perempuan, namun jika ditanya siapa saja ulama perempuan, maka sukar untuk menjawabnya. Tokoh yang paling diingat adalah ulama sufi Rabi’ah al-Adawiyah. Sisanya, tidak diketahui sama sekali siapa saja ulama perempuan yang ahli dibidang fikih, hadis, dan kalam. Begitu juga di Nusantara, sulit untuk mengetahui siapa saja ulama perempuan, walaupun perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam belajar agama Islam.


            Martin van Bruinessen dalam buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat mengatakan bahwa kitab kuning yang menjadi acuan sebagai ilmu agama di pesantren memiliki bias gender, memandang bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Perempuan seringkali ditempatkan sebagai pengabdi bagi laki-laki, bahkan perempuan dianggap tidak lebih saleh dibanding laki-laki karena ada hari-hari tertentu perempuan tidak boleh beribadah. Hal ini tidak lepas, karena kitab kuning sendiri dikarang oleh ulama laki-laki, adapun karangan kitab kuning dari ulama perempuan cenderung tidak dipelajari dan disembunyikan sebagaimana kitab Perukunan Jamaluddin  yang dikarang Fatimah putri Syekh Arsyad Al-Banjari, yang penulis dialihkan ke pamannya. 

 
            Kehadiran perguruan tinggi Islam, terutama tahun 1960-an telah memberi ruang bagi perempuan untuk mengakses pendidikan, terutama dalam mendalami ilmu agama. Meski perempuan mendapatkan kesempatan yang sama denga laki-laki, namun laki-laki lebih diprioritaskan untuk menempuh pendidikan tinggi dibanding perempuan. Setidaknya, menurut Nur Syam ada lima pandangan kenapa perempuan sulit mengakses pendidikan, pertama pandangan teologis yang mengatakan perempuan adalah ciptaan dari tulang rusuk laki-laki hingga ada relasi kuasa laki-laki atas perempuan yang menjadikan pemimpin hanya boleh laki-laki , kedua pandangan sosiologi bahwa perempuan hanya perlu berada di wilayah domestik urusan rumah tangga maka tidak perlu pendidikan tinggi, ketiga pandangan psikologi bahwa perempuan harus secepatnya dikawinkan alasan orang tua khawatir anaknya tak mendapat jodoh, keempat pandangan budaya “Perempuan itu, suwargo nunut neroko katut” yang artinya perempuan ke surga ikut ke neraka terbawa, budaya ini memposisikan laki-laki menentukan perempuan, kelima pandangan ekonomi, karena keterbatasan orang tua dalam ekonomi hingga tidak bisa membiayai kuliah. Tapi jika orang tua memiliki ekonomi yang cukup mampu, maka anak laki-laki lebih diutamakan dibanding anak perempuan, lalu anak perempuan di usahakan secepat mungkin kawin.


            Fenomena tantangan perempuan di dunia pendidikan, penulis amati di Kota Subulussalam. Di kota ini, semangat perempuan untuk kuliah memiliki signifikan yang tinggi, hal ini terlihat dari jumlah perempuan yang kuliah lebih banyak jika dibanding laki-laki. Dan setiap kali wisuda perempuan meraih sebagai wisudawan terbaik. Hal ini mematahkan anggapan bahwa laki-laki lebih cerdas dibanding perempuan, padahal jika diberikan kesempatan yang sama, perempuan bisa saja lebih unggul dibanding laki-laki.


            Minat perempuan Kota Subulussalam kuliah bukan tanpa halangan, tantangan datang dari keluarga dan masyarakat. Mereka yang berasal dari keluarga ekonomi rendah cenderung tidak mendapat dukungan, tapi hal tersebut tidak membuat mereka putus asa, ada keinginan untuk terus menuntut ilmu, mendapatkan kesempatan sebagai guru, dan melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Sedangkan dari masyarakat tantangan datang dari stigma “Ujung-ujungnya juga didapur”, memandang bahwa meski perempuan bisa kuliah dan jadi sarjana, dianggap hanya mengurus rumah tangga. Keadaan ini tidak menyurutkan perempuan kuliah. Akan tetapi dibeberapa perempuan yang tinggal disekitar perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi, lebih banyak didukung, hal ini memperlihatkan bahwa lingkungan tempat perempuan tinggal memengaruhi pandangan masyarakat, jika masyarakat didominasi perempuan terdidikan maka perempuan terdidik mendapat dukungan, sebaliknya jika lingkunga tempat mereka tinggal tidak ada perempuan terdidik, maka kurang mendapat dukungan, bahkan distigma “percuma kuliah”. Terlebih respon masyarakat yang masih memiliki paham patriarki dengan menyatakan bahwa kuliah sia-sia karena ujungnya perempuan hanya berurusan dengan rumah tangga, menjadi pembuktian bagi mereka bahwa perempuan yang terdidik bukanlah hal sia-sia.

Penulis : Mery Andani, Pegiat Literasi dan Kontributor ISRAC Kota Subulussalam

Share this content:

Post Comment