Dari Ali Hasjimi ke Hamzah Fansuri

Dari Ali Hasjimi ke Hamzah Fansuri

5 menit baca

Pada 13 September 1962, Ali Hasjimi yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Aceh datang ke Bandar Baru (Simpang Kiri). Pada malam hari, gubernur menginap di Rundeng dan selama disana kemungkinan ia menyempatkan diri berkunjung ke Makam Oboh, yang diyakini oleh penduduk sekitar sebagai Pusara Hamzah Fansuri. Warga setempat biasanya menyebut makam-makam yang dikeramatkan sebagai jekhat yang berasal dari bahasa Arab, ziarah, atau kegiatan berziarah.

Keesokan harinya, 14 September 1962, Ali Hasjimi dan rombongan bergerak menuju Bandar Baru. Dalam acara seremonial sederhana, Hasjimi mengganti nama Bandar Baru menjadi Subulussalam dan menetapkannya menjadi ibukota Kecamatan Simpang Kiri. Melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor Istimewa/XI/1962 tanggal 14 September 1962, kota tersebut didirikan sekaligus ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan sebuah masjid jami’ di ibukota kecamatan Simpang Kiri.

Kata Subulussalam berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan-jalan menuju keselamatan. Dalam tasawuf, seorang pengembara spiritual, salik melakukan suluk, melakukan proses pendakian spiritual, berjalan menuju keselamatan, berjalan menuju Tuhan. Ali Hasjim tentu memiliki filosofi terkait penamaan demikian, setidaknya itu merupakan sebuah harapan.

Hasilnya, tanggal 14 September 1962 dijadikan sebagai titik awal kelahiran Kota Subulussalam. Bahkan, setelah Subulussalam beralih status menjadi kota baru, tanggal tersebut tetap dianggap sebagai hari jadi. Mungkin karena nilai historis yang sulit tergantikan atau karena kota ini memang sudah matang dan siap untuk berkembang? Maka setiap tanggal 14 September, masyarakat merayakan ulang tahun Kota Subulussalam dan dan mengisinya dengan berbagai kegiatan baik sosial maupun keagamaan.

Pada mulanya, Kota Subulussalam bersama Kabupaten Aceh Singkil merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Selatan, lalu kemudian melalui Undang-undang Nomor 14 tahun 1999 Aceh Singkil (termasuk di dalamnya Subulussalam) mekar dari Aceh Selatan. Melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2007, Subulussalam kemudian memisahkan diri dari Kabupaten Aceh Singkil dan membentuk pemerintahan kota sendiri. Ketetapan ini kemudian memberi peluang bagi Kota Subulussalam untuk mempermak diri dan mempertegas komitmen dalam kemajuan di berbagai bidang termasuk di bidang pendidikan dan kebudayaan.

Pada tahun 2002 di Kota Singkil diadakannya Seminar Internasional dengan tema,  “Menelusuri Jejak Syeih Hamzah Al-Fansuri: Intelektual, sufi dan sastrawan.” Seminar yang bertujuan mempresentasikan temuan-temuan ilmiah terkait sosok Hamzah Fansuri tersebut menghadirkan beberapa pemakalah seperti Dr. Abdul Hadi WM, Hasan Muarrif Ambary, Prof. Dr, H. Simuh, Dr, Yusni Saby, Dr. T. Safir Iskandar Wijaya, Dr. Fajri Alihar dan Dr.M. Hasbi Amiruddin dan seorang pemateri dari luar negeri seperti Prof. Dr. Nabilah Abdul Fattah dan Syekh Samir Mahud Salam (Nuraini H dan A. Mannan, 2016:198).

Menurut Hasan Muarrif Ambary seperti dikutip oleh Nuraini H dan A. Mannan, Hamzah diperkirakan pernah menjadi penulis istana pada masa kesultanan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah Sayid al-Mukammal (1589-1604). Ia berkeliling untuk belajar ilmu hakikat sampai kemudian kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Mula-mula ia berdiam di Barus lalu ke Kutaraja, lalu ke Singkil dan mendirikan padepokan (semacam pesantren atau dayah) di Kampong Oboh yang sekarang masuk dalam wilayah Kota Subulussalam (Nuraini H dan A. Mannan, 2016:198-199).

Saat ini, ada kesan bahwa nama Hamzah Fansuri diposisikan secara ikonik dan menjadi simbol identitas kota. Jekhat (Aceh: Jeurat, Indonesia: Makam)Oboh yang diyakini merupakan makam Hamzah Fansuri dipugar dan dilengkapi berbagai fasilitas. Nama Hamzah disematkan dalam nama kampus setempat, nama pesantren, jalan, nama sekolah dan berbagai nama lembaga lainnya. Geliat ini juga kemudian terlihat dari pengkajian-pengkajian yang mulai serius berkenaan dengan tokoh tasawuf dunia itu. Melalui kerjasama dengan Pemda dan Ormas setempat, Pusat Pengkajian Tauhid Tasawuf Indonesia juga mendirikan gapura Syekh Hamzah Fansuri di pusat Kota Subulussalam.

Kombinasi Kosmologis Antara Ali Hasjimi dan Hamzah Fansuri…

Secara historis, Kota Subulussalam memiliki sentuhan kosmik Ali Hasjimi dan Hamzah Fansuri. Setidaknya ada tiga modal diskursus besar yang dimiliki oleh kota ini yaitu: Pertama, Subulussalam menetapkan tanggal 14 September sebagai hari jadi, dimana sejarah penetapan dan nama kota tersebut merujuk langsung kepada Ali Hasjimi. Kedua, masyarakat meletakkan Hamzah Fansuri sebagai simbol peradaban dan kebudayaan dimana makam sang pujangga terdapat di Kampung Oboh Kecamatan Rundeng Kota Subulussalam. Ketiga, modal budaya sebagai pertemuan beragam budaya besar di Pantai Barat Sumatera yakni Budaya Singkil, Budaya Pakpak (dan Batak), Budaya Melayu (dan Barus Raya) serta budaya Aceh (dan pesisir selatan serta kluet) dalam satu rumpun Budaya Singkel, yang dinamis dan plural.

Dengan demikian dan setidaknya, Kota Subulussalam memiliki narasi dua ulama dan tokoh intelektual sekaligus. Terlebih lagi, Ali Hasjimi adalah intelektual publik yang cinta kepada Hamzah Fansuri. Ia pernah menulis buku tentang tokoh sufi tersebut dan pernah pula beberapa kali menziarahi makamnya di Oboh. Bahkan sebelum ada ketetapan ilmiah, sejak tahun 1970-an, Ali Hasjimi menekankan bahwa Jekhat Oboh adalah makam Hamzah Fansuri

Ali Hasjimi menuliskan,

….Terakhir beliau mendirikan madrasah di daerah tempat lahirnya, dekat Rundeng (Sekarang masuk wilayah Pemerintahan Kota Subulussalam). Disana kemudian beliau wafat sekitar tahun 1607-1610 yaitu pada awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan disanalah pula beliau dimakamkan, di sebuah tempat antara Rundeng dan Singkil. Saya telah dua kali berkunjung ke tempat tersebut (Ali Hasjimi, 1976:11-12).”

Sejatinya, melalui nama Ali Hasjimi, Subulussalam dapat memperkuat narasi keislaman dan pengetahuan. Karena Ali Hasjimi dikenal sebagai tokoh intelektual yang sangat sangat luas pemahaman dan keilmuannya. Sang mantan gubernur juga dikenal sebagai ulama saleh yang berusaha mempertahankan nilai-nilai keislaman di negeri Aceh tercinta. Implementasi syari’at Islam yang kita rasakan saat ini, salah satunya merupakan buah dari kesungguhan Ali Hasjimi mengawal narasi keislaman tersebut.  

Di sisi lain, melalui nama Hamzah Fansuri, Subulussalam dapat menampilkan nilai-nilai sastra, falsafah dan metafisika-ketauhidan. Kita lebih mengenal nama Hamzah melalui puisi-puisi sufinya yang indah dan sarat akan makna. Namun lebih dari itu, Hamzah Fansuri adalah ikon falsafah Nusantara. Hampir tidak ada filsuf besar melebihi Hamzah Fansuri yang dikenal di Nusantara.

Hamzah menuliskan,

Jika sungguh kamu semua thalibun

Supaya jadi sekalian kamu ‘alimun

Wallahu Khalaqakum wama ta’malun (dari QS 37:96)

Dari artinya itu jangan ghafilun

Ketahui makna tsalatsah illa huwa rabi’uhum (dari QS 58:7)

Wa la khamsah illa huwa sadisuhum (dari QS 58:7)

Wala adna min dzalika wala aktsara illa huwa ma’ahum (dari QS 58:7)

Inilah makna wa huwa ma’akum ainama kuntum (dari QS 57:4)

Dalam sebuah syair, Hamzah mengkombinasikan surat al Ikhlas dengan indah kedalam puisi-puisinya.

Laut itulah yang bernama aḥad (dari QS 112:01)

Terlalu lengkap pada asyyâ’u shamâd (dari QS 112:02)

Olehnya itulah lam yalid wa lam yǔlad (dari QS 112:03)

Wa lam yakun lahǔ kufwan aḥad (dari QS 112:04)

Gagasan metafisika ketauhidan Hamzah Fansuri tak dapat dipungkiri. Jika Ibnu Arabi dikenal dengan konsepsinya mengenai a’yan thabithah dan wahdatul wujud, maka Hamzah Fansuri memiliki pemikiran tersendiri mengenai konsep la ta’yun dan wujúdiyah. Tentu saja wujúdiyah yang dimaksud adalah wujúdiyah yang muwahhidah (wujúdiyah yang bertauhid), bukan wujúdiyah yang mulhidah (wujúdiyah yang sesat). Selain itu, wujúdiyah Hamzah Fansuri merupakan saripati tasawuf berwajah nusantara yang kemudian perlu dikaji dalam rangka menguatkan aspek toleransi dan kemanusiaan. Saat ini, pengaruh tasawuf Hamzah ditemukan di hampir seantero Nusantara bahkan Asia Tenggara. Temuan naskah Sharb al Ashiqin dan Muntahi dalam bahasa Jawa menunjukkan pengaruh ajaran tasawuf Hamzah Fansuri di pulau tersebut (Drewes dan Brakel, 1986:226-230).

Terakhir, dalam narasi-narasi sufistiknya, Hamzah Fansuri juga mengajarkan empat tangga spiritual yang mesti dijalani oleh seorang salik yakni syari’at, tarikat, hakikat dan ma’rifat. Dalam kitab Zinat Al Wahidin (dalam versi lain disebut kitab As Sharb Al ‘Ashiqin) Hamzah dengan gamblang menjabarkan empat konsep tangga spiritual ini. Bahwa untuk dapat berma’rifat, seseorang tidak boleh meninggalkan syari’at. Bahwa untuk mencapai makna hakikat, seorang harus menempuh jalan tarikat.

Sehingga, untuk membangun peradaban masa depan, kota Subulussalam tak dapat menafikan peran ikonik Hamzah Fansuri. Peran ikonik artinya, bahwa keagungan dan pemikiran tokoh tersebut harus menjadi pondasi dalam peradaban. Nama Hamzah Fansuri adalah nilai dan bonus tersendiri bagi Subulussalam untuk terus berbenah. Nama Hamzah Fansuri memudahkan bagi kota kecil ini untuk memperkenalkan diri ke mancanegara dan seluruh dunia.

Subulussalam dapat menjadi ikon peradaban Hamzah Fansuri. Kota ini dapat menjadi pusat studi kebudayaan, sastra, pengetahuan dan falsafah Hamzah Fansuri. Peran pemerintah bukan saja sekedar memperkenalkan ikon wisata religi, namun lebih dari itu perlu mendorong peningkatan studi-studi kefansurian. Sehingga ketika orang ingin mencari tahu siapa itu Hamzah Fansuri, pemerintah dapat memberikan referensi dan rekomendasi yang jelas. Lebih jauh lagi, melalui kajian yang matang terhadap sejarah dan pemikiran sastranya, Subulussalam dapat mengambil sistem nilai, falsafah, religi dan budaya untuk diaktualkan dalam program pembangunan daerah, pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia.

Melalui pemaknaan historis atas Hamzah Fansuri, dapat dibangun pusat studi kefansurian, didirikan monument kesejarahan, direvitalisasi makam Oboh berbasis sejarah-spritualitas-ekonomi-pariwisata. Hamzah Fansuri, bukan saja dianggap keramat bagi para peziarah yang menautkan nazar dan harapannya. Tapi ia juga keramat secara kosmologi-politik, melalui capaian pembangunan daerah yang signifikan, kesejahteraan masyarakat dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama.

Pada akhirnya, sosok ikonik Hamzah Fansuri sebenarnya cukup potensial untuk dijadikan spirit bagi gerak pembangunan daerah. Terlepas dari kontroversi terhadap ajaran tasawuf dan lokasi makamnya, Hamzah telah menyentuh hati begitu banyak peneliti. Syair-syairnya memiliki muatan etika, filsafat dan kemanusiaan yang masih aktual untuk diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di hari ini.

Ramli Cibro
Penulis Buku “Hamzah Fansuri: Narasi yang Hilang dan Polemik Tasawuf Nusantara”

Share this content:

Post Comment